
UPAYA
PELESTARIAN LINGKUNGAN
BERBASIS
KEARIFAN LOKAL DALAM MASYARAKAT BADUY
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH
LINGKUNGAN DAN ANALISIS LINGKUNGAN
LINGKUNGAN DAN ANALISIS LINGKUNGAN
Oleh:
Nur Azizah Fitriana
NIM. 130910301061
JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
APRIL-2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang memilki banyak pulau tersebar di seluruh
nusantara. Konsekuensi sebagai Negara kepulauan maka Indonesia memiliki
keanekaragaman ekosistem beserta sumber daya alam. Keanekaragamn sumber daya
alam di Indonesia menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia menaggapi alam
sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat. Gaya hidup masyarakat
tersebut terlihat sebagai adat kehidupan yang berorientasi terhadap siakp alam
sebagai panutan. (Dalam https://core.ac.uk/download/files/379/11737344.pdf,
diunduh 6 April, pukul 06.03 WIB)
Gaya
hidup tersebut diturunkan secara turun-menurun dari generasi ke generasi dalam
bentuk religi, budaya dan adat-istiadat atau biasa disebut dengan kearifan
local. Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungan
dengan mengembangkan suatu kearifan local yang berwujud pengetahuan atau ide,
peralatan dipadu dengan norma adat, niali budaya, aktivitas mengelola
lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. (Suhartini, 2009). Salah satu contoh masyarakat di Indonesia
yang masih menggunakan kearifan loka dalam mengelola lingkungan yaitu masyarakat
Baduy, di Banten.
Cara hidup tradisional masyarakat
Baduy yang sederhaana dan penuh toleransi terlihat dari cara mereka dalam
melakukan proteksi terhadap lingkungan. Proteksi terhadap lingkungan tersebut
dilakukan bertujuan untuk mempertahankan kehidupan mereka yang tergantung
terhadap alam agar tetap utuh dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pandangan mereka dalam melestarikan
lingkungan melalui proteksi tersebut sama dengan pandangan etika biosentrisme.
Dimana ciri
utama dari biosentrisme adalah adanya anggapan setiap kehidupan dan makhaluk
hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Baduy memiliki moralitas yang tinggi terhadap alam, mereka beranggapan
bahwa kerusakan lingkungan
atau perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan
mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya.
Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan memicu kepunahan suku
Baduy. Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar yang
berusaha merusak lingkungan mereka.
Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar
banyak upaya yang dilakukan mereka dari yang bersifat represif maupun
preventif. Beberapa usaha preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan
tidak menerima bantuan pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat
merusak kondisi lingkungan atau tatanan sosial mereka. Selain itu mereka juga
terus mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka
sebagai kawasan yang dilindungi dan didukung dengan peraturan yang diterbitkan
oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy. Sedangkan usaha represif mereka bersikap
tegas dan langsung menindak pihak mana pun yang merusak lingkungan. Bentuk
perilaku pelestarian lingkungan dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat
Baduy, tercermin dalam kehidupan keseharian mereka.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka rumusan masalah dalam penulisan paper ini adalah :
“Bagaimana
usaha suku Baduy dalam melestarikan lingkungan berbasis kearifan local sebagai
salah upaya bertahan hidup?”
1.3 Tujuan
Berdasarkan
latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
Untuk
mengetahui usaha suku Baduy dalam melestarikan lingkungan berbasis kearifan
local sebagai salah upaya bertahan hidup.
1.4 Manfaat
Dalam
penulisan makalah ini manfaat yang diharapkan adalah :
1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang kearifan
local khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam upaya pelestarian lingkungan
oleh masyarakat Baduy
2. Hasil penulisan diharapkan dapat memberi
kontribusi pemikiran terhadap pengembangan ilmu kesejahteraan sosial dan dapat
digunakan sebagai bahan kajian bagi penulis lain yang melakukan pengkajian
masalah sejenis
3. Menjadi bahan informasi, referensi dan kajian bagi para pemerhati, dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan terkait upaya pemerintah untuk melakukan proses pelestarian lingkungan berbasis
kearifan lokal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kearifan Lokal
Pengertian Kearifan
Lokal menurut kamus, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Local berarti setempat dan
wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan dalam disiplin
antropologi kearifan local dikenal
istilah local genius.
Kearifan lokal menjadi
penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem
pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa
dari budaya lokal. Keraifan local sendiri memilki berbagai macam jenis, seperti
di bawah ini :
1. Tata
kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades)
2. Nilai-nilai
adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika
3. Tata
cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan
alam
4. Pemilihan
tempat dan ruang
Kemudian wujud kearifan
lokal ada dua macam yaitu pertama kearifan
local berwujud nyata berupa ;tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab
kuno (primbon), kalander dan tangible,
contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal seperti Candi borobodur, batik. Kedua, kearifan lokal yang tidak berwujud yaitu petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian
seperti balamut. Kemudian fungsi dari kearifan lokal, yaitu;
1.
Pelestarian
alam,seperti bercocok tanam
2. Pengembangan
pengetahuan
3.
Mengembangkan SDM
2.2 Etika Biosentrisme
Ciri
utama dari etika ini adalah biocentric, karena
teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhaluk hidup mempunyai nilai dan
berharga pada dirinya sendiri. Teori ini juga mendasar terhadap moralitas pada
keluhuran kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Biosentrisme juga mengklaim bahwa manusia
mempunyai nilai moral dan berharga karena nilai kehidupan dalam diri manusia
berharga pada dirinya sendiri. Artinya prinsip yang sama berlaku bagi segala
sesuatu yang hidup dan memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk hidup
lainnya.
2.2.1 Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan (Biosentrisme)
Inti
teori ini adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Etika
biosentrisme juga didasarkan pada hubungan yang khas antara manusia dan alam, serta
nilai pada alam tersebut. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Paul
Taylor yang menyatakan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap makhluk bumi. Menurut Taylor,
biosentrisme didasarkan oleh empat keyakinan sebagai berikut :
Pertama, keyakinan bahwa
manusia adalaah anggota dari komunitas kehidupan di bumi dalam arti yang sama
dan dalam kerangka yang saam dimana makhluk hidup lain juga anggota dari
komunitas yang sama. Kedua, keyakinan
bahwa spesies manusia , bersama dengan spesies lain adalah bagian dari system
yang saling tergantung sehingga kelangsungan hidup dari setiap makhluk hidup,
serta peluangnya untuk berkembang biak tidak tergantung dari lingkungan
mealainkan relasi antar makh;uk hidup. Ketiga
keyakinan bahwa setiap oragnisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai
tujuan sendiri. Keempat, keyakinan
bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk hidup lain.
Selain
itu menurut Taylor dalam memahami biosentrisme, diperlukan untuk membuat
pembedaan antara pelaku moral dan subyek moral. Pelaku moral adalah makhluk
yang mempunyai kemampuan yang dapat digunakan untuk bertindak secara moral,
sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dan bisa dituntut untuk bertanggung jawab terhadap
tindakannya. Sedangkan subyek moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan
secara baik dan buruk dan pelaku moral mempunyai tanggung jawab moral
terhadapnya.
Dibawah
ini adalah sebab manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap makhluk lain
karena manusia adalah pelaku moral yang mempunyai kemampuan untuk bertindak
secara moral, termasuk mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap
subyek moral. Kemudian menurut taylor kewajiban manusia sebagai pelaku moral
harus memiliki sikap hormat yang diwujudkan dengan empat kewajiban sebagai
berikut :
Pertama, kewajiban untuk
tidak melakukan sesuatu yang merugikan alam dan segala isinya. Kedua, kewajiban untuk tidak
mencampuri yang mengandung arti
kewajiban tidak membatasi dan menghambat organisme untuk berkemabang biak dan
hidup leluasa di alam. Selain itu, manusia harus membiarkan organisme
berkembang sesuai hakiaktnya. Ketiga
adalah kesetiaan, hal ini menekankan terhadap relasi antara individu dengan
binatang tertentu untk dijaga dan dilindungi. Keempat kewajiban restitutif dan retributive. Kewajiban ini
menuntut manusia dalam memulihkan kembali kesalahan yang diperbuat sehingga
menimbulkan kerugian bagi alam.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Upaya Masyarakat Baduy dalam Melestarikan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal
Masyarakat Baduy tinggal di desa Kanekes, Lebak Banten.
Kondisi lingkungan daerah tersebut memiliki kualitas baik yang ditandai dengan
keanekaragaman hayati yang masih tinggi.
Kondisi tersebut tercipta karena adanya kemandirian dari Suku Baduy dalam menciptakan interaksi dengan lingkungan hidupnya. Usaha menciptakan
kondisi tersebut merupakan bentuk dari kewajiban moral masyarakat Baduy terhadap alam. Perilaku tersebut merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari etika biosentrisme yang didasarkan pada
hubungan khas antara manusia dan alam, serta nilai pada alam tersebut.
3.1.1 Pembagian wilayah sebagai upaya menciptakan keseimbangan lingkungan
Menurut
Taylor, etika biosentrisme didasarkan pada kewajiban manusia sebagai pelaku
moral yang memiliki sikap hormat yang diwujudkan dengan empat kewajiban sebagai
berikut : Pertama, kewajiban untuk
tidak melakukan sesuatu yang merugikan alam dan segala isinya. Kedua, kewajiban untuk tidak
mencampuri yang mengandung arti
kewajiban tidak membatasi dan menghambat organisme untuk berkemabang biak dan
hidup leluasa di alam. Selain itu, manusia harus membiarkan organisme
berkembang sesuai hakiaktnya. Ketiga
adalah kesetiaan, hal ini menekankan terhadap relasi antara individu dengan
binatang tertentu untk dijaga dan dilindungi. Keempat kewajiban restitutif dan retributive. Kewajiban ini
menuntut manusia dalam memulihkan kembali kesalahan yang diperbuat sehingga
menimbulkan kerugian bagi alam.
Keempat
kewajiban terhadap alam di atas terlihat dari cara masyarakat Baduy dalam
memperlakukan alam, mereka berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara alam
dengan manusia. Keyakinan tersebut tercermin dari kebiasaan masyarakat dalam
membagi wilayah tempat tinggalnya menjadi tiga zona yaitu zona bawah, zona
tengah dan zona atas.
Zona
pertama atau wilayah lembah merupakan zona bawah karena daerah tersebut
relative datar sehingga daerah ini digunkan sebagai zona pemukiman atau biasa
yang disebut dengan “dukuh lembur” (hutan
kampung). Zona kedua atau zona
tengah berada di atas hutan kampung, lahan ini digunakan sebagai lahan
pertanian intensif, seperti ladang kebun dan kebun campuran. Cara berladang
mereka masih tradisional yaitu dengan membuka hutan-hutan untuk digunakan
sebagai lahan pertanian dan kebun. Hutan yang dibuka untuk ladang merupakan jenis
hutan sekunder atau hutan produksi. Lahan untuk berladang tersebut digunakan
selama satu tahun, setelah itu lahan dibiarkan untuk menjadi hutan kembali
minimal 3 tahun.
Zona ketiga atau zona atas merupakan daerah
di puncak bukit. Wilayah ini merupakan daerah konservasi yang tidak boleh
dibuat untuk ladang, hanya dapat dimanfaatkan untuk diambil kayunya secara
terbatas. Masyarakat Baduy menyebut kawasan ini sebagai “leuweung kolot”
atau “leuweung titipan” yang artinya hutan tua atau hutan titipan
yang harus dijaga kelestariannya. Dengan adanya kawasan hutan lindung atau
hutan tua, maka daerah Baduy memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Kondisi tersebut secara ekologi akan menciptakan keseimbangan alam dan
memberikan keuntungan lain seperti sumber daya plasma nutfah yang dapat
dikembangkan untuk pembudidayaan dan penyilangan tanaman di masa yang akan
datang.
Wilayah konservasi atau hutan tua tersebut
merupakan salah satu bentuk tanggung
jawab moral terhadap makhluk lain. Hal ini dikarenakan masyarakat Baduy mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
terhadap kelestarian alam yang diwujudkan dalam bentuk daerah konservasi atau
hutan tua. Manfaat yang diperoleh dengan
adanya hutan tua tersebut adalah terciptanya
vegetasi yang beraneka ragam dapat menjaga iklim setempat, menghindari
pemanasan global, melindungi dari anginkencang, terik matahari, perlindungan
satwa liar, mencegah bahaya erosi, dan kelestarian lingkungan lainnya.
Selain melakukan
pembagian wilayah di atas, masyarakat Baduy juga membagi hutan berdasarkan
fungsinya menjadi tiga jenis, yaitu : pertama,
hutan larangan adalah hutan lindung yang dilarang untuk dimasuki oleh siapa pun
termasuk pemimpin adat. Hutan larangan ini, dijaga keutuhannya karena hal ini
merupakan perwujudan dari rasa menghormati dan menghargai alam atas dasar
pemahaman terhadap potensi yang dikandungnya
Kedua, hutan dudungusan adalah hutan yang dilestarikan karena berada di
hulu sungai, atau di dalamnya terdapat tempat keramat atau leluhur Baduy. Hutan ini masih bisa dimanfaatkan dan diambil
hasil hutan lindung oleh masayarakat sekitar secara terbatas. Ketiga hutan garapan adalah hutan yang
dapat dimanfaatkan sebagai ladang atau huma. Lahan ini dimanfaatkan
sebagai lahan untuk tanaman tumpang sari atau tanaman pangan, yaitu padi dan
komoditas kebun. Pembagian wilayah tersebut sebagai bentuk rasa hormat terhadap
lahan, menunjukkan ikatan erat sebagaimana layaknya hubungan antara makhluk
hidup.
3.1.2 Bentuk Kearifan Lokal yang Diterapkan pada Masyarakat Baduy
Kearifan local atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Bentuk-bentuk gagasan maupun pandangan yang menunjukkan
kearifan local adalah ketentuan adat yang berlaku bagi masyarakat Baduy .
Dimana masyarakat Baduy segala tingkah lakunya berpedoman terhadap ketentuan
adat (buyut karuhun).
Salah satu bentuk Buyut karuhun adalah
pikukuh karuhun yang berlaku
secara turun temurun dan setiap warga Baduy dilarang melanggar dan mengubah
tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah tersebut. Ketentuan-ketentuan pikukuh
karuhun yang harus
ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang berkunjung ke Baduy,
sebagai berikut
1.
Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur
drainase, dan membuat irigasi. Oleh karena itu, sistem pertanian padinya adalah
padi ladang. Pertanian padi sawah dilarang di komunitas Baduy.
2.
Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat
sumur, meratakan tanah untuk permukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian.
3.
Dilarang masuk hutan titipan (leuweung
titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil
hutan. Kawasan larangan dan perlindungan tidak dapat dialihfungsikan
untuk kegiatan apapun.
4.
Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat
pemberantas hama, mandi menggunakan sabun, pasta gigi, mencuci menggunakan
detergent, atau meracun ikan.
5.
Dilarang menanam tanaman budi daya perkebunan, seperti kopi, kakao,
cengkeh, kelapa sawit.
6.
Dilarang memelihara binatang
ternak berkaki empat, seperti sapi, kambing, kerbau.
7.
Dilarang berladang sembarangan. Berladang harus sesuai dengan ketentuan
adat.
8.
Dilarang menggunakan sembarang pakaian. Ditentukan adanya keseragaman
dalam berpakaian. Baduy Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih,
Baduy Luar berpakaian hitam atau biru gelap dengan ikat kepala hitam atau biru
gelap.
Buyut dan pikukuh
karuhun merupakan petuah-petuah bagi masyarakat dalam berperilaku sehingga hal
itu termasuk dalam kategori kearifan local tidak nyata. Petuah-petuah tersebut
dinggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy, di antaranya adalah: petuah tentang lingkungan alam tidak boleh
dirusak, tata guna lahan tidak boleh dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi.
Kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan harus tetap dipertahankan
keberadaannya.
BAB III
PENUTUP
Cara hidup tradisional masyarakat Baduy yang sederhaana dan
penuh toleransi terlihat dari cara mereka dalam melakukan proteksi terhadap
lingkungan. Proteksi terhadap lingkungan tersebut dilakukan bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan mereka yang tergantung terhadap alam agar tetap utuh
dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Pandangan mereka dalam melestarikan lingkungan melalui proteksi
tersebut sama dengan pandangan etika biosentrisme. Dimana ciri
utama dari biosentrisme adalah adanya anggapan setiap kehidupan dan makhaluk
hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri.
Kebiasaan masyarakt
Baduy yang menunjukka etika biosentrisme terlihat pembagian wilayah tempat
tinggalnya menjadi tiga zona yaitu zona bawah, zona tengah dan zona atas. Selain
melakukan pembagian wilayah di atas, masyarakat Baduy juga membagi hutan
berdasarkan fungsinya menjadi tiga jenis, yaitu : pertama, hutan larangan adalah hutan lindung yang dilarang untuk
dimasuki oleh siapa pun termasuk pemimpin adat. Kedua, hutan dudungusan adalah hutan
yang dilestarikan karena berada di hulu sungai, atau di dalamnya terdapat
tempat keramat atau leluhur Baduy. Ketiga hutan garapan adalah hutan yang
dapat dimanfaatkan sebagai ladang atau huma. Selanjutnya bentuk kearifan
local dari masyarakat Baduy adalah ketentuan adat. Dimana masyarakat Baduy
segala tingkah lakunya berpedoman terhadap ketentuan adat (buyut karuhun).
Salah satu bentuk Buyut karuhun adalah pikukuh karuhun yang berlaku secara
turun temurun dan setiap warga Baduy dilarang melanggar dan mengubah tatanan
kehidupan yang telah ada dan sudah tersebut. Ketentuan-ketentuan pikukuh
karuhun yang harus
ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang berkunjung ke Baduy.
DAFTAR PUSTAKA
Suparmini, Dkk. 2013. Pelestarian Lingkungan
Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal
Penelitian: Humaniora. Volume 18
(1) . Dalam (Http://Journal.Uny.Ac.Id/Index.Php/Humaniora/Article/Download/3180/2665, Diakses 6 April 2016)
Waluyo,
A.G. 2013. Belajar
Mencintai Lingkungan dan Kebudayaan dari Suku Baduy : Sangat Menjaga
Hutan Ulayat, Hidup dengan Cara Tradisional (dalam http://www.indopos.co.id/2013/01/belajar-mencintai-lingkungan-dan-kebudayaan-dari-suku-baduy.html)
Riki. Tanpa Tahun. Suku Baduy, Bersinergi Dengan
Alam Menjaga Aturan Adat (dalam http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/suku-baduy-bersinergi-dengan-alam-menjaga-aturan-adat,
diakses 6 april 2015)
http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/2010/11/22/membangun-masyarakat-madani-berbasis-kearifan-lokal-di-kabupaten-brebes/
(diakses 20 Desember 2015)
Suhartini . 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Dalam Http://Eprints.Uny.Ac.Id/12149/1/Bio_Suhartini2%20uny.Pdf , Diakses 6 April
2015)
Komentar
Posting Komentar