Multikultur

Description: unej

KEARIFAN LOKAL TUMPEK PENGATAG DI BALI
(Identifikasi Kearifan Lokal  Sebagai Aset Pemberdayaan Masyarakat)

TUGAS UJIAN SEMESTER AKHIR
MATA KULIAH
TEORI PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL
                                                                                                       

Oleh:
Nur Azizah Fitriana
NIM. 130910301061




JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
DESEMBER-2015


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memilki banyak pulau tersebar di seluruh nusantara. Konsekuensi sebagai Negara kepulauan maka Indonesia kaya akan budaya meliputi suku, bahasa, adat istiadat, maupun agama. Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia inilah yang akan menimbulkan berbagai macam konflik horizontal. Hal ini dikarenakan setiap kebudayaan memilki nilai-nilai yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain sehingga akan mengarah terhadap perpecahan. Berkaitan dengan hal itu, untuk mengatasi konflik antarbudaya maka setiap orang yang hidup di Indonesia harus memiliki pemahaman mengenai multicultural untuk menghindari gesekan antara kebudayaan yang saling berbeda. Meskipun demikian, di lain sisi, keanekargaman kebudayaan yang ada di Indonesia menjadi aset Negara dan ciri khas Indonesia.
Kebudayaan merupakan kekayaan yang bernilai dan menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa. Dimana di dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai, pengetahuan maupun petuah yang bermanfaat bagi generasi muda, seperti nilai-nilai yang terkandung dalam upaca adat Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatang. Upacara Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatang merupakan salah satu bentuk kearifan local yang terdapat di pulau Bali, yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan local ini adalah aspek ekologi , sosial masyarakat dan ekonomi
Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatang merupakan upaca yang berkaitan dengan lingkungan yaitu untuk melestartikan lingkungan. Upacara ini dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali atau 25 sebelum Hari Raya Galungan.  Upacara ini dirayakan sebagai rasa syukur yang diwujudkan dengan pemberian persembahan sesaji buah dan mangga serta bubur sumsum yang ditujukan agar pohon-pohon dapat menghasilkan buah yang lebat. Sehingga melalui upacara ini, umat Hindu diajarkan untuk  belajar bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali.
Berdasarkan pernyataan di atas, nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpeng Wariga apabila dikaitkan dengan pemberdayaan (pengembangan masyarakat) dapat digunakan sebagai asset pembangkit sector pertanian. Seperti yang telah diungkapkan oleh Barker dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan masyarakat dilakukan oleh profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara anggota masyarakat, memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal. Maka dalam hal ini dibutuhkan peran pekerja social untuk  meningkatkan ikatan social anggota masyarakat (umat Hindu) melalui upacara tumpeng Wariga/ Pengatang tersebut untuk membangkitkan sector pertanian sehingga berdampak terhadap nilai ekonomi. Selain itu melalui upacara tersebut, pekerja social diharapkan untuk mendorong masyarakat perkotaan yang kebanyakan lahannya dialih fungsikan dalam membangaun pertaniaan perkotaan, seperti menyadarkan masyrakat untuk memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas ekonomi tinggi. Melalui pernyataan di atas maka judul dari makalah ini adalah “Kearifan Lokal Upacara Tumpek Pengatang di Bali (Identifikasi Kearifan Lokal  sebagai Aset Pemberdayaan Masyarakat).

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
“ Apa Nilai-nilai terkandung dalam Upacara Adat Tumpeng Pengatang yang dapat digunakan sebagai asset pemberdayaan masyarakat ?”

1.3  Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui nilai-nilai terkandung dalam Upacara Adat Tumpeng Pengatang/Wayah yang dapat digunakan sebagai factor pendorong upaya pemberdayaan masyarakat

1.4  Manfaat

Dalam penulisan makalah ini manfaat yang diharapkan adalah :
1.      Bagi penulis, menambah wawasan tentang kearifan local khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat Tumpeng Pengatang atau Wayah
2.      Hasil penulisan diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran terhadap pengembangan ilmu kesejahteraan sosial dan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi penulis lain yang melakukan pengkajian masalah sejenis
3.      Menjadi bahan informasi, referensi dan kajian bagi para pemerhati, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terkait upaya pemerintah untuk melakukan proses pemberdayaan berbasis kearifan lokal

 












BAB II

TINJAUAN PUSTAKA



2.1  Konsep Kearifan Lokal

Pengertian Kearifan Lokal menurut kamus, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan dalam disiplin antropologi  kearifan local dikenal istilah local genius
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Keraifan local sendiri memilki berbagai macam jenis, seperti di bawah ini :
1.      Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades)
2.      Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika
3.      Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam
4.      Pemilihan tempat dan ruang
Kemudian wujud kearifan lokal ada dua macam yaitu pertama kearifan local berwujud nyata berupa ;tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon), kalinder dan tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal seperti  Candi borobodur, batik. Kedua, kearifan lokal yang tidak berwujud yaitu  petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian seperti balamut. Kemudian fungsi dari kearifan lokal, yaitu;
1.      Pelestarian alam,seperti bercocok tanam
2.      Pengembangan pengetahuan
3.      Mengembangkan SDM

2.2  Konsep Pengembangan Masyrakat

Menurut Mifthul Huda (2009:253), pengembangan masyarakat (community development) merupakan bagian dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak langsung (indirect practice) yaitu suatu proses pertolongn yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan masyarakat.
Menurut Barker dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan masyarakat dialkaukan oleh profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara anggota masyarakat, memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal.
Sedangkan masyarakat menurut Brueggemann (2002: 39) dalam Miftahul Huda (2009: 256) adalah perkumpulan manusia berdasarkan ikatan hubungan yang menguntungkan karena memberikan makna dalam kehidupan dengan mempertemukan kebutuhan ataupun meningkatkan tujuan –tujuan interpersonal antaraanggota masyarakat.  Menurut Mayo dalam Miftahul Huda (2009:256) mengartikan masyarakat menjadi dua konsep, yaitu :pertama, masyarakat sebagai landasan sebuah tempat, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Kedua, masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas.

2.3  Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal di Era Globalisasi

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuankolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan harmonis.
 Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Pada akhirnya kearifan lokal dijadikan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka yang meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dankomunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka,dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka.
Kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan dan menjadi nilai asli masyarakat Indonesia. Nilai asli masyarakat Indonesia adalah nilai yang di dalamnya melekat dengan konsep multikultural,nilai-nilai seperti toleransi beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik,menjadi alasan mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila dari pada pada ideology bernuansa agama. Kenyataan ini harus kita akui dan dihayati karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai aspaek negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia, apalagi zaman sekarang adanya arus globalisasi bidang transportasi, teknologi dan komunikasi, dan pengembangan media massa.
Strategi pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era globalisasi yakni dengan memperkuat nilai-nilai dan norma-norma leluhur dari nenek moyang yang ada di masyarakat agar terjaga utuh kearifan lokal; mempertahankan budaya yang ada di masyarakat dengan bertindak secara rasional sebagai akibat dari arus globalisasi;  menyaring budaya dari luar (globalisasi) dengan menilai baik buruknya pengaruh dalam bidang teknologi dan komunikasi, transportasi, pengembangan media massa, perubahan gaya hidup, pendidikan, budaya, politik, agama, hukum dan lain-lain.
.

BAB III

PEMBAHASAN



3.1  Gambaran Umum Tumpek Pengatag/Wariga

Setiap Saniscara Kliwon Wariga, umat Hindu menghaturkan sesajen kehadapan Sanghyang Sangkara sebagai dewanya segala tumbuh-tumbuhan. Pada hari ini pula ditetapkan dan diberi nama Tumpek Pengarah atau Tumpek Penguduh/uduh, atau Tumpek Pengatag, oleh umat Hindu, peristiwa ini merupakan gambaran rasa kasih dan sayangnya kepada tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari bahwa dalam menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri (individu) tetapi selalu membutuhkan orang lain sebagai makhluk sosial. Karena manusia selalu membutuhkan orang lain maka munculah konsep dalam agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya. manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya.
Adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan timbul pemikiran untuk menetapkan hari sebagai hari raya yang disebut Tumpek Pengatag atau Tumpek Wiraga. Pada upacara ini yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa sebagai Bhatara Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan, menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkembang biak, berdaun, berbunga, berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya. Melakukan pemujaan yang ditujukan Bhatara Sangkara maka menggunakan objek tumbuh-tumbuhan yang berkaitan erat dengan manusia dalam kehidupan hidup sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon wani, pohon durian, pohon jambu dan sebagainya. Tujuan umat Hindu mengadakan upacara ini adalah ucapan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Sangkara, bahwa beliau telah menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon agar tumbuh-tumbuhan itu dapat berkembang biak dan berguna bagi manusia. Sekaligus juga memohon agar tumbuh-tumbuhan berbuah banyak sehingga ketika menjelang Galungan agar dapat dipergunakan sebagai sarana upacara persembahan di hari raya Galungan.

3.2  Analisis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Tumpek Wiraga/Pengatang sebagai Aset Pemberdayaan

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Pengertian kearifan local tersebut terlihat dari perilaku umat Hindu di Bali dalam melakukan upacara Tumpeng Pengatang, dimana secara implisit mereka berusaha memelihara lingkungan agar mendapatkan hasil panen yang melimpah melalui pesakralan upacara tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpeng Pengatang  merupakan contoh nilai-nilai yang membangun masyarakat sehingga apabila dikembangkan akan dapat digunakan sebagai modal untuk pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi masalah demi mewujudkan kesejahteraan.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Dalam hal ini kearifan local yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengatag masih melekat dalam masyarakat dapat menjadikan nilai tersebut sebagai sumber energi potensial untuk melindungi lingkungan serta bekerja sama dengan orang lain dalam hidup bersama secara dinamis dan harmonis di era modernisasi ini. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tiga nilai yang membangun masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal pemberdayaan dalam upaca Tumpek Pengatang adalah sebagai berikut :

1.      Hubungan Tumpek Pengatang terhadap nilai ekologi
Perayaan hari Tumpek Pengatang mengajarkan pada umat manusia agar bersyukur atas terhadap adanya alam dalam kehidupan. Rasa bersyukur tersebut diwwujudkan dengan cara menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman karena memberi isyarat dan makna agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya.
Kondisi umat Bali yang masih mau merayakan upacara Tumpek Pengatang di tengah modernisasi saat ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dijadikan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk meningkatkan panen. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka dengan memperhatikan lingkungan yang terdapat di sekitar mereka.
Tumpek Pengatag ini merupakan momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada umat manusia.  Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para leluhur atau para tetua Bali di masa lalu,  yang  telah memiliki visi untuk menjaga agar Bali tidak menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Manfaat ekologi yang terkandung dalam hari raya Tumpek Pengatag ini agar manusia mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali.
Kesadaran kecintatn terhadap lingkungan tersebut tidak hanya ditujukan untuk Pulau Bali. Namun juga untuk kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Keistimewaan dari kearifan local ini,muncul sebelum manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon. Kesadaran dan masih eksisnya kebudayaan tersebut hingga saat ini tersebut menunujukkan adanya strategi pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era globalisasi. Sebab strategi pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era lebih menekankan terhadap perkuatan nilai-nilai dan norma-norma leluhur dari nenek moyang yang ada di masyarakat agar terjaga utuh kearifan local.
2.      Hubungan Tumpek Pengatag terhadap nilai Sosial Masyarakat
Kemudian dari dari segi sosial masyarakat bahwa Tumpek Pengatag merupakan media pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling menghargai. Dimana nilai sosial yang terkandung adalah kita  sebagai manusia harus belajar dari cara hidup tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah berjasa terhadap manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada manusia untuk memetik daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia rela. Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasihan dan rasa peduli yang ditunjukkan dengan memberi makan dan menyediakan kebutuhan binatang dan manusia.
Dengan belajar melalui tumbuhan-tumbuhan tersebut maka setiap manusia dilarang untuk tidak pernah memiliki rasa benci, memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia lain. Melalui Tumpek Pengatag , tumbuh-tumbuhan dijadikan pedoman bagi manusia agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan jalan saling menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling membantu serta saling menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.
3.      Hubungan Tumpek pengatag terhadap nilai Ekonomi
Upacara Tumpek Pengatag apabila dikaitkan terhadap nilai ekonomi, maka perayaan Tumpek Pengatag dapat digunakan untuk membangkitkan sektor pertanian. Hal ini sangat berkaitan erat dengan konsep pengembangan masyarakat. Dimana menurut Mifthul Huda (2009:253), pengembangan masyarakat (community development) merupakan bagian dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak langsung (indirect practice) yaitu suatu proses pertolongn yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan masyarakat. Apabila hal ini dikaitkan dengan kearifan local yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengateg adalah dibutuhkan seorang penggerak untuk memanfaatkan lahan sempit diperkotaan yang telah mengalami alih fungi, perlu adanya tindakan nyata melalui kreativitas dan motivasi membangun pertanian perkotaan, salah satunya adalah memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas bernilai ekonomi tinggi.
Dengan melestarikan budaya Upacara Tumpek Pengatag, masyarakat menjadi lebih bisa melestarikan lingkungan dengan menanam tumbuh-tumbuhan pada lahan sempit. Dengan demikian secara tidak langsung masyarakat akan memperoleh hasil dari tumbuhan yang ditanam, baik buah, kayu, maupun daun. Kemudian hasil dari tumbuhan terebut juga dapat memberikan nilai yang tiggi apabila dijual di pasaran. Selain itu, Upacara Tumpek Pengatag juga memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, masyarakat bisa saja menjual banten yang diperlukan untuk berlangsungnya Upacara Tumpek Pengatag. Mereka bisa menjualnya pada keluarga-keluarga yang mungkin mempunyai kesibukan sehingga tidak ada waktu untuk membuat banten. Dengan demikian akan adanya timbal balik antara masyarakat dimana penjual akan mendapat uang, sedangkan yang membeli menjadi memperoleh banten untuk Upacara Tumpek Pengatag.






BAB IV

PENUTUP


4.1  Kesimpulan

Upacara Tumpek Pengatag merupakan suatu kearifan lokal Bali yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan khususnya dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpeng Wariga apabila dikaitkan dengan pemberdayaan (pengembangan masyarakat) dapat digunakan sebagai asset pembangkit sector pertanian. Seperti yang telah diungkapkan oleh Barker dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan masyarakat dilakukan oleh profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara anggota masyarakat, memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal. Maka dalam hal ini dibutuhkan peran pekerja social untuk  meningkatkan ikatan social anggota masyarakat (umat Hindu) melalui upacara tumpeng Wariga/ Pengatang tersebut untuk membangkitkan sector pertanian sehingga berdampak terhadap nilai ekonomi. Selain itu melalui upacara tersebut, pekerja social diharapkan untuk mendorong masyarakat perkotaan yang kebanyakan lahannya dialih fungsikan dalam membangaun pertaniaan perkotaan, seperti menyadarkan masyrakat untuk memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas ekonomi tinggi.
Dalam hal ini kearifan local yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengatag masih melekat dalam masyarakat dapat menjadikan nilai tersebut sebagai sumber energi potensial untuk melindungi lingkungan serta bekerja sama dengan orang lain dalam hidup bersama secara dinamis dan harmonis di era modernisasi ini.

4.2   Rekomendasi

1.       Meningkatkan peran generasi muda untuk ikut serta dalam upacara Tumpek Pengatag sebagai upaya  penanam kearifan local agar tidak luntur karena modernisasi
2.       Meningkatkan perekonomian masyarakat  melalui  pemanfaatan lahan sekitar dengan ditanami tanaman bernilai ekonomis sebagai  bentuk manifest dari nilai-nilai Tumpek Pengatag  
3.       Mengadakan festival bercocok tanam dan bazar tanaman bagi generasi muda



DAFTAR PUSTAKA



Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Kesejahteraan Sosial : Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Huda, M. 2009. Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial : Sebuah Pengantar. Bandung: Pustaka Pelajar

Juwintari. 2015. Makna Upacara Tumpek Wariga dalam Pelestarian Lingkungan. Makalah. dalam (https://jelajahminiatur.wordpress.com/author/juwiantari/) diunduh 20 Desember 2015

http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/2010/11/22/membangun-masyarakat-madani-berbasis-kearifan-lokal-di-kabupaten-brebes/ diunduh 20 Desember 2015










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Intervensi Komunitas