Multikultur

KEARIFAN
LOKAL TUMPEK PENGATAG DI BALI
(Identifikasi
Kearifan Lokal Sebagai Aset Pemberdayaan
Masyarakat)
TUGAS UJIAN SEMESTER AKHIR
MATA KULIAH
TEORI PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
TEORI PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
DALAM MASYARAKAT
MULTIKULTURAL
Oleh:
Nur Azizah Fitriana
NIM. 130910301061
JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
DESEMBER-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang memilki banyak pulau tersebar di seluruh
nusantara. Konsekuensi sebagai Negara kepulauan maka Indonesia kaya akan budaya
meliputi suku, bahasa, adat istiadat, maupun agama. Keanekaragaman budaya yang
ada di Indonesia inilah yang akan menimbulkan berbagai macam konflik
horizontal. Hal ini dikarenakan setiap kebudayaan memilki nilai-nilai yang
berbeda bahkan bertentangan satu sama lain sehingga akan mengarah terhadap
perpecahan. Berkaitan dengan hal itu, untuk mengatasi konflik antarbudaya maka
setiap orang yang hidup di Indonesia harus memiliki pemahaman mengenai
multicultural untuk menghindari gesekan antara kebudayaan yang saling berbeda.
Meskipun demikian, di lain sisi, keanekargaman kebudayaan yang ada di Indonesia
menjadi aset Negara dan ciri khas Indonesia.
Kebudayaan
merupakan kekayaan yang bernilai dan menjadi lambang dari kepribadian suatu
bangsa. Dimana di dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai, pengetahuan maupun
petuah yang bermanfaat bagi generasi muda, seperti nilai-nilai yang terkandung
dalam upaca adat Tumpek Wariga atau
Tumpek Pengatang. Upacara Tumpek
Wariga atau Tumpek Pengatang merupakan salah satu bentuk kearifan local
yang terdapat di pulau Bali, yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam
kearifan local ini adalah aspek ekologi , sosial masyarakat dan ekonomi
Tumpek
Wariga atau Tumpek Pengatang merupakan upaca yang berkaitan dengan lingkungan
yaitu untuk melestartikan lingkungan. Upacara ini dirayakan umat Hindu setiap
210 hari sekali atau 25 sebelum Hari Raya Galungan. Upacara ini dirayakan sebagai rasa syukur
yang diwujudkan dengan pemberian persembahan sesaji buah dan mangga serta bubur
sumsum yang ditujukan agar pohon-pohon dapat menghasilkan buah yang lebat.
Sehingga melalui upacara ini, umat Hindu diajarkan untuk belajar bisa menanam, memelihara
tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi atau penghijauan kembali.
Berdasarkan
pernyataan di atas, nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpeng Wariga
apabila dikaitkan dengan pemberdayaan (pengembangan masyarakat) dapat digunakan
sebagai asset pembangkit sector pertanian. Seperti yang telah diungkapkan oleh Barker
dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan masyarakat dilakukan oleh
profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara anggota masyarakat,
memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab
atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal. Maka dalam hal ini
dibutuhkan peran pekerja social untuk
meningkatkan ikatan social anggota masyarakat (umat Hindu) melalui
upacara tumpeng Wariga/ Pengatang tersebut untuk membangkitkan sector pertanian
sehingga berdampak terhadap nilai ekonomi. Selain itu melalui upacara tersebut,
pekerja social diharapkan untuk mendorong masyarakat perkotaan yang kebanyakan
lahannya dialih fungsikan dalam membangaun pertaniaan perkotaan, seperti
menyadarkan masyrakat untuk memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas ekonomi
tinggi. Melalui pernyataan di atas maka judul dari makalah ini adalah “Kearifan Lokal Upacara Tumpek Pengatang di
Bali (Identifikasi Kearifan Lokal
sebagai Aset Pemberdayaan Masyarakat).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
“
Apa Nilai-nilai terkandung dalam Upacara Adat Tumpeng Pengatang yang dapat
digunakan sebagai asset pemberdayaan masyarakat ?”
1.3 Tujuan
Berdasarkan
latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
Untuk
mengetahui nilai-nilai terkandung dalam Upacara Adat Tumpeng Pengatang/Wayah
yang dapat digunakan sebagai factor pendorong upaya pemberdayaan masyarakat
1.4 Manfaat
Dalam
penulisan makalah ini manfaat yang diharapkan adalah :
1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang kearifan
local khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat Tumpeng
Pengatang atau Wayah
2. Hasil penulisan diharapkan dapat memberi kontribusi
pemikiran terhadap pengembangan ilmu kesejahteraan sosial dan dapat digunakan
sebagai bahan kajian bagi penulis lain yang melakukan pengkajian masalah
sejenis
3. Menjadi bahan informasi, referensi dan kajian bagi para pemerhati, dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan terkait upaya pemerintah untuk melakukan proses pemberdayaan berbasis kearifan
lokal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kearifan Lokal
Pengertian Kearifan
Lokal menurut kamus, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Local berarti setempat dan
wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan dalam disiplin antropologi kearifan local dikenal istilah local genius
Kearifan lokal menjadi
penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem
pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa
dari budaya lokal. Keraifan local sendiri memilki berbagai macam jenis, seperti
di bawah ini :
1. Tata
kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades)
2. Nilai-nilai
adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika
3. Tata
cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan
alam
4. Pemilihan
tempat dan ruang
Kemudian wujud kearifan
lokal ada dua macam yaitu pertama kearifan
local berwujud nyata berupa ;tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab
kono (primbon), kalinder dan tangible,
contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal seperti Candi borobodur, batik. Kedua, kearifan lokal yang tidak berwujud yaitu petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian
seperti balamut. Kemudian fungsi dari kearifan lokal, yaitu;
1.
Pelestarian
alam,seperti bercocok tanam
2. Pengembangan
pengetahuan
3.
Mengembangkan SDM
2.2 Konsep Pengembangan Masyrakat
Menurut
Mifthul Huda (2009:253), pengembangan masyarakat (community development) merupakan bagian dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak
langsung (indirect practice) yaitu
suatu proses pertolongn yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan
menggunakan pendekatan masyarakat.
Menurut
Barker dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan masyarakat dialkaukan
oleh profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara anggota masyarakat,
memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan lokal yang bertanggung jawab
atau melakukan revitalisasi terhadap institusi lokal.
Sedangkan
masyarakat menurut Brueggemann (2002: 39) dalam Miftahul Huda (2009: 256)
adalah perkumpulan manusia berdasarkan ikatan hubungan yang menguntungkan
karena memberikan makna dalam kehidupan dengan mempertemukan kebutuhan ataupun
meningkatkan tujuan –tujuan interpersonal antaraanggota masyarakat. Menurut Mayo dalam Miftahul Huda (2009:256)
mengartikan masyarakat menjadi dua konsep, yaitu :pertama, masyarakat sebagai
landasan sebuah tempat, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Kedua,
masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan
kebudayaan dan identitas.
2.3 Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal di Era Globalisasi
Kearifan lokal atau sering disebut local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan lokal merupakan
pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi
bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami
bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat
menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem
pengetahuankolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan harmonis.
Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi mampu mendinamisasi
kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Pada akhirnya kearifan lokal
dijadikan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan
yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka yang meliputi seluruh unsur kehidupan:
agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa
dankomunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan,
pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur
kebutuhan mereka,dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang
terdapat pada warga mereka.
Kemajemukan dan keanekaragaman
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan dan menjadi nilai
asli masyarakat Indonesia. Nilai asli masyarakat Indonesia adalah nilai yang di
dalamnya melekat dengan konsep multikultural,nilai-nilai seperti toleransi
beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik,menjadi alasan
mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila dari pada pada ideology bernuansa
agama. Kenyataan ini harus kita akui dan dihayati karena kemajemukan dan
keanekaragaman itu menimbulkan berbagai aspaek negatif, antara lain benturan
masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia, apalagi zaman
sekarang adanya arus globalisasi bidang transportasi, teknologi dan komunikasi,
dan pengembangan media massa.
Strategi pemberdayaan masyarakat
berbasis kearifan lokal di era globalisasi yakni dengan memperkuat nilai-nilai
dan norma-norma leluhur dari nenek moyang yang ada di masyarakat agar terjaga
utuh kearifan lokal; mempertahankan budaya yang ada di masyarakat dengan
bertindak secara rasional sebagai akibat dari arus globalisasi; menyaring
budaya dari luar (globalisasi) dengan menilai baik buruknya pengaruh dalam
bidang teknologi dan komunikasi, transportasi, pengembangan media massa, perubahan
gaya hidup, pendidikan, budaya, politik, agama, hukum dan lain-lain.
.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Tumpek Pengatag/Wariga
Setiap Saniscara Kliwon Wariga, umat Hindu menghaturkan
sesajen kehadapan Sanghyang Sangkara sebagai dewanya segala tumbuh-tumbuhan.
Pada hari ini pula ditetapkan dan
diberi nama Tumpek Pengarah
atau Tumpek
Penguduh/uduh,
atau Tumpek Pengatag, oleh umat Hindu, peristiwa ini merupakan gambaran
rasa kasih dan sayangnya kepada tumbuh-tumbuhan. Sebab umat Hindu menyadari
bahwa dalam menjalani hidupnya di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri
(individu) tetapi selalu membutuhkan orang lain sebagai makhluk sosial. Karena
manusia selalu membutuhkan orang lain maka munculah konsep dalam agama Hindu
yang disebut dengan Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = tiga, Hita =
sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung
pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan
antara: Manusia dengan Tuhannya. manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia
dengan sesamanya.
Adanya hubungan antara manusia dengan
lingkungan timbul pemikiran untuk menetapkan
hari sebagai hari raya yang disebut Tumpek
Pengatag atau Tumpek
Wiraga. Pada upacara
ini yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa sebagai Bhatara Sangkara sebagai penguasa
tumbuh-tumbuhan, menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkembang biak, berdaun,
berbunga, berbuah lebat sesuai dengan kegunaannya. Melakukan pemujaan yang
ditujukan Bhatara Sangkara maka menggunakan objek tumbuh-tumbuhan yang berkaitan erat dengan manusia
dalam kehidupan hidup
sehari-hari seperti : pohon kelapa, pohon mangga, pohon wani, pohon durian,
pohon jambu dan sebagainya. Tujuan umat Hindu mengadakan upacara ini
adalah ucapan rasa terima
kasih kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Sangkara, bahwa beliau telah
menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon agar tumbuh-tumbuhan itu dapat
berkembang biak dan berguna bagi manusia. Sekaligus juga memohon agar
tumbuh-tumbuhan berbuah banyak sehingga ketika menjelang Galungan agar dapat
dipergunakan sebagai sarana upacara persembahan di hari raya
Galungan.
3.2 Analisis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Upacara Tumpek Wiraga/Pengatang sebagai Aset Pemberdayaan
Kearifan lokal atau sering disebut local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Pengertian
kearifan local tersebut terlihat dari perilaku umat Hindu di Bali dalam
melakukan upacara Tumpeng Pengatang,
dimana secara implisit mereka berusaha memelihara lingkungan agar mendapatkan
hasil panen yang melimpah melalui pesakralan upacara tersebut. Nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara Tumpeng
Pengatang merupakan contoh
nilai-nilai yang membangun masyarakat sehingga apabila dikembangkan akan dapat
digunakan sebagai modal untuk pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dalam
mengatasi masalah demi mewujudkan kesejahteraan.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan
yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama
masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami
bersama-sama. Dalam hal ini kearifan local yang terkandung dalam
upacara Tumpek Pengatag masih melekat dalam masyarakat dapat
menjadikan nilai tersebut sebagai sumber energi potensial untuk melindungi lingkungan serta
bekerja sama dengan orang lain dalam hidup bersama secara dinamis dan harmonis di era
modernisasi ini. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tiga nilai yang
membangun masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal pemberdayaan dalam upaca
Tumpek Pengatang adalah sebagai berikut :
1.
Hubungan Tumpek Pengatang terhadap nilai ekologi
Perayaan hari Tumpek Pengatang mengajarkan pada umat manusia agar bersyukur atas terhadap
adanya alam
dalam kehidupan. Rasa
bersyukur tersebut diwwujudkan dengan cara menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya
tanaman karena memberi isyarat dan makna agar
manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa
menopang hidup dan penghidupannya.
Kondisi umat
Bali yang masih mau merayakan upacara Tumpek
Pengatang di tengah modernisasi saat ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dijadikan pandangan
hidup dan ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk meningkatkan panen. Mereka mempunyai pemahaman, program,
kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan
unsur kebutuhan mereka dengan memperhatikan lingkungan yang
terdapat di sekitar mereka.
Tumpek Pengatag ini merupakan momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala
jasa Ibu Pertiwi kepada umat manusia. Bersahabat dengan alam, tidak
merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para leluhur atau para tetua Bali
di masa lalu, yang telah memiliki visi untuk menjaga agar Bali tidak menjadi tanah gersang dan kerontang
akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Manfaat ekologi yang terkandung dalam
hari raya Tumpek Pengatag ini agar manusia
mulai belajar untuk bisa menanam, memelihara tumbuh-tumbuhan melalui reboisasi
atau penghijauan kembali.
Kesadaran kecintatn terhadap lingkungan tersebut tidak hanya
ditujukan untuk Pulau Bali. Namun juga untuk kelestarian alam dan lingkungan seluruh
dunia. Keistimewaan dari kearifan local ini,muncul sebelum
manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu sebelum dunia
menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan
arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam
pohon. Kesadaran dan masih eksisnya
kebudayaan tersebut hingga saat ini tersebut menunujukkan adanya strategi
pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era globalisasi. Sebab strategi
pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era lebih menekankan
terhadap perkuatan nilai-nilai dan norma-norma leluhur dari nenek moyang yang
ada di masyarakat agar terjaga utuh kearifan local.
2.
Hubungan Tumpek Pengatag terhadap
nilai Sosial Masyarakat
Kemudian dari
dari segi sosial masyarakat bahwa Tumpek Pengatag merupakan media
pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling menghargai.
Dimana nilai sosial yang terkandung adalah kita
sebagai manusia harus belajar dari cara hidup tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan telah
berjasa terhadap manusia dengan tulus ikhlas memberikan kesempatan kepada
manusia untuk memetik daunnya, buahnya bahkan sampai batangnyapun ditebang dia
rela. Tumbuh-tumbuhan memiliki rasa kasihan dan rasa peduli yang
ditunjukkan dengan memberi
makan dan menyediakan kebutuhan binatang dan manusia.
Dengan belajar melalui
tumbuhan-tumbuhan tersebut maka setiap manusia dilarang untuk tidak pernah
memiliki rasa benci, memfitnah, irihati kepada binatang dan manusia lain. Melalui Tumpek Pengatag , tumbuh-tumbuhan
dijadikan pedoman bagi
manusia agar tumbuh dalam pikirannya untuk melestarikan lingkungannya dengan
jalan saling menghormati, saling menyayangi, saling memelihara, dan saling
membantu serta saling menolong diantara semua insan ciptaan Tuhan.
3.
Hubungan Tumpek pengatag terhadap
nilai Ekonomi
Upacara Tumpek Pengatag apabila dikaitkan terhadap nilai ekonomi, maka perayaan
Tumpek Pengatag dapat digunakan untuk
membangkitkan sektor pertanian. Hal ini sangat berkaitan erat dengan konsep
pengembangan masyarakat. Dimana menurut
Mifthul Huda (2009:253), pengembangan masyarakat (community development) merupakan bagian dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak
langsung (indirect practice) yaitu
suatu proses pertolongn yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan
menggunakan pendekatan masyarakat.
Apabila hal ini dikaitkan dengan kearifan local yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengateg adalah dibutuhkan
seorang penggerak untuk memanfaatkan lahan sempit diperkotaan yang telah mengalami alih fungi, perlu adanya tindakan
nyata melalui kreativitas dan motivasi membangun pertanian perkotaan, salah
satunya adalah memanfaatkan lahan sempit dengan komoditas bernilai ekonomi
tinggi.
Dengan melestarikan budaya Upacara Tumpek Pengatag, masyarakat menjadi
lebih bisa melestarikan lingkungan dengan menanam tumbuh-tumbuhan pada lahan
sempit. Dengan demikian secara tidak langsung masyarakat akan memperoleh hasil
dari tumbuhan yang ditanam, baik buah, kayu, maupun daun. Kemudian hasil dari
tumbuhan terebut juga dapat memberikan nilai yang tiggi apabila dijual di
pasaran. Selain itu, Upacara Tumpek
Pengatag juga memberikan lapangan kerja bagi masyarakat, masyarakat bisa
saja menjual banten yang diperlukan untuk berlangsungnya Upacara Tumpek Pengatag. Mereka bisa menjualnya
pada keluarga-keluarga yang mungkin mempunyai kesibukan sehingga tidak ada
waktu untuk membuat banten. Dengan demikian akan adanya timbal balik antara
masyarakat dimana penjual akan mendapat uang, sedangkan yang membeli menjadi
memperoleh banten untuk Upacara Tumpek
Pengatag.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Upacara Tumpek Pengatag merupakan suatu kearifan
lokal Bali yang bermanfaat bagi kelestarian lingkungan khususnya dalam
pelestarian tumbuh-tumbuhan. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Tumpeng
Wariga apabila dikaitkan dengan pemberdayaan (pengembangan masyarakat) dapat
digunakan sebagai asset pembangkit sector pertanian. Seperti yang telah
diungkapkan oleh Barker dalam Miftahul Huda (2009:253) bahwa pengemabangan
masyarakat dilakukan oleh profesional untuk meningkatan ikatan sosial antara
anggota masyarakat, memotivasinya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help), mengembangkan kepemimpinan
lokal yang bertanggung jawab atau melakukan revitalisasi terhadap institusi
lokal. Maka dalam hal ini dibutuhkan peran pekerja social untuk meningkatkan ikatan social anggota masyarakat
(umat Hindu) melalui upacara tumpeng Wariga/ Pengatang tersebut untuk
membangkitkan sector pertanian sehingga berdampak terhadap nilai ekonomi.
Selain itu melalui upacara tersebut, pekerja social diharapkan untuk mendorong
masyarakat perkotaan yang kebanyakan lahannya dialih fungsikan dalam membangaun
pertaniaan perkotaan, seperti menyadarkan masyrakat untuk memanfaatkan lahan
sempit dengan komoditas ekonomi tinggi.
Dalam hal ini kearifan local yang terkandung dalam upacara Tumpek Pengatag masih melekat dalam
masyarakat dapat menjadikan nilai tersebut sebagai sumber energi potensial untuk
melindungi lingkungan serta bekerja sama dengan orang lain dalam hidup bersama
secara dinamis dan harmonis di era modernisasi ini.
4.2 Rekomendasi
1. Meningkatkan peran generasi muda untuk ikut serta
dalam upacara Tumpek Pengatag sebagai
upaya penanam kearifan local agar tidak
luntur karena modernisasi
2. Meningkatkan perekonomian masyarakat melalui
pemanfaatan lahan sekitar dengan ditanami tanaman bernilai ekonomis sebagai
bentuk manifest dari nilai-nilai Tumpek Pengatag
3. Mengadakan festival bercocok tanam dan bazar tanaman
bagi generasi muda
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Kesejahteraan Sosial : Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial dan Kajian
Pembangunan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Huda, M. 2009. Pekerjaan
Sosial & Kesejahteraan Sosial : Sebuah Pengantar. Bandung: Pustaka
Pelajar
Komentar
Posting Komentar